Frankl (dalam Schultz, 1991) merumuskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebermaknaan hidup individu ke dalam tiga faktor, yaitu:
Spiritualitas
Merupakan sebuah konsep yang sulit untuk dirumuskan, tidak dapat diturunkan, dan tidak dapat diterangkan dengan term-term yang bersifat material, kendatipun spiritual dapat dipengaruhi oleh dimensi kebendaan. Namun tetap saja spiritualitas tidak dapat disebabkan ataupun dihasilkan oleh hal-hal yang bersifat bendawi tersebut. Istilah spiritual ini dapat disinonimkan dengan istilah jiwa. Covey (2005) menegaskan bahwa hidup ini akan menjadi penuh makna dan keagungan ketika individu dapat mengilhami sekaligus menjadi jalan bagi orang lain untuk menemukan panggilan jiwa mereka, dengan dibimbing oleh empat macam kecerdasan, yaitu: kecerdasan fisik (Physical Quotient), kecerdasan mental (Intelligence Quotient), kecerdasan emosi (Emotional Quotient), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), di mana ketiga kecerdasan yang disebutkan di bagian awal tunduk pada kecerdasan yang terakhir, spiritual (Spiritual Quotient), yang juga sering disebut sebagai hati nurani.
Kebebasan
Kebebasan tidak dibatasi oleh hal-hal yang bersifat non spiritual, oleh insting-insting biologis, apalagi oleh kondisi-kondisi lingkungan. Manusia dianugerahi kebebasan oleh penciptanya, dan dengan kebebasan tersebut ia diharuskan untuk memilih bagaimana hidup dan bertingkah laku yang sehat secara psikologis. Individu yang tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan kebebasan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, adalah individu yang mengalami hambatan psikologis atau neurotis. Individu yang neurotik akan menghambat pertumbuhan sekaligus pemenuhan potensi- potensi yang mereka miliki, sehingga akan mengganggu perkembangan sebagai individu secara penuh.
Tanggung JawabIndividu yang sehat secara psikologis menyadari sepenuhnya akan beban dan tanggung jawab yang harus mereka pikul dalam setiap fase kehidupannya, sekaligus menggunakan waktu yang mereka miliki dengan bijaksana agar hidup dapat berkembang ke arah yang lebih baik. Kehidupan yang penuh arti sangat ditentukan oleh kualitasnya, bukan berapa lama atau berapa panjang usia hidup.
Keberadaan manusia akan menjadi sehat dan efektif jika faktor-faktor tersebut di atas dapat terealisasikan dengan baik dan benar dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh individu.
Frankl (dalam Schultz, 1991) kemudian menambahkan bahwa dalam menemukan makna hidup tidak terlepas dari realisasi nilai-nilai. Nilai-nilai itu tidak sama bagi setiap orang, dan berbeda dalam setiap situasi. Nilai-nilai itu senantiasa berubah dan fleksibel agar dapat beradaptasi dengan beragam situasi di mana individu dapat menyadari kemampuan yang dimilikinya.
Nilai-nilai yang mendasar bagi manusia dalam upaya menemukan makna hidupnya, menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) adalah:
Nilai-nilai Kreatif (Creativity Values)Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia yang dapat dipergunakannya untuk memberi sentuhan lebih pada kehidupannya, atau kehidupan orang lain. Nilai-nilai kreatif ini biasanya terealisasi dalam bentuk aktivitas yang kreatif dan produktif, biasanya terkait dengan suatu bidang pekerjaan. Meski begitu, nilai-nilai kreatif dapat diterapkan di semua sendi kehidupan. Makna hidup akan diberikan melalui karya-karya nyata, tidak harus berupa hal-hal yang bersifat materi atau fisik, mungkin saja dengan ide, ataupun dengan jasa yang diberikan kepada orang lain.
Nilai-nilai Pengalaman (Experiential Values)
Nilai-nilai pengalaman adalah apa-apa saja yang diperoleh manusia dalam rentang waktu kehidupannya, misalkan penemuannya akan suatu kebenaran, keindahan, cinta, kasih sayang, caci maki, atau bahkan sumpah serapah. Ada kemungkinan bagi manusia untuk menemukan kebermaknaan hidup dengan mengalami berbagai sisi kehidupan secara intensif, walaupun individu tersebut tidak melakukan sesuatu yang berarti (dalam Risma, 2001).
Nilai-nilai Bersikap (Attitudinal Values)
Merupakan sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap segala kemungkinan atau kondisi yang tidak sanggup diubahnya, seperti penyakit, kesulitan, atau kematian. Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan, yang sangat potensial untuk menimbulkan tekanan psikologis bagi individu, seperti stres, kesedihan, bahkan keputusasaan, sebenarnya membuka kesempatan yang sangat luas bagi individu untuk dapat menemukan makna hidupnya. Apabila dihadapkan pada kondisi sedemikian, maka satu-satunya cara terbaik dan paling rasional untuk dilakukan adalah dengan menerima keadaan tersebut dengan lapang dada.
Selain faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas, faktor lain yang ikut mempengaruhi hadirnya kebermaknaan hidup seseorang adalah konsep diri. Konsep diri menjelaskan tentang pandangan seseorang terhadap dirinya secara menyeluruh terkait dengan keyakinan akan aspek fisik, sosial, psikologis, emosional, maupun aspirasinya (Hurlock, 1979). Konsep diri seseorang akan turut mempengaruhi sikap serta perilakunya dalam menghadapi suatu masalah. Dalam menghadapi suatu situasi, terutama situasi yang kurang menguntungkan bagi diri seseorang, konsep diri yang dimiliki oleh seseorang akan mendominasi mekanisme yang dikembangkannya dalam mengatasi situasi yang kurang menguntungkan tersebut. Positif atau negatifnya konsep diri yang dimiliki, akan berdampak pada hasil yang diperoleh, dan itu juga berarti akan berimbas pada tercapai tidaknya makna hidup.
Hal lain yang juga dapat mempengaruhi apakah seseorang dapat menemukan makna dalam kehidupannya atau tidak adalah kecerdasan adversity. Kecerdasan adversity ini terkait dengan respon seseorang terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Kecerdasan adversity juga mengungkap tentang daya adaptasi seseorang terhadap masalah. Stoltz (2005) mengemukakan bahwa individu yang memiliki tekad pantang menyerah dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity yang rendah.
Konsep tentang kecerdasan adversity seperti yang dijelaskan di atas jauh-jauh hari telah dipraktikkan oleh Frankl, tokoh penggagas kebermaknaan hidup. Ketika ia menjadi salah satu tahanan tentara Nazi, yang setiap saat berpeluang untuk menjadi korban pembantaian, maka yang senantiasa ada dalam pikirannya adalah bahwa ia harus tetap bertahan, ia tidak ingin mati di dalam kamp konsentrasi milik serdadu Nazi Jerman tersebut (Mayne & Mayne, 2005).
Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh berbagai tokoh di atas memberikan suatu sinyalemen bahwa untuk menemukan makna hidup memang terkesan gampang-gampang susah. Diperlukan berbagai macam perangkat nilai yang (seharusnya) sejak jauh-jauh hari telah ditanamkan dalam diri seseorang. Nilai-nilai tersebut kemudian akan memandu seseorang menuju pemenuhan makna hidup, sekaligus menjadi kunci untuk membuka pintu kebahagiaan. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi pula bahwa rentetan pengalaman hiduplah yang akan menjadi pemantik untuk berfungsi optimalnya nilai-nilai tersebut. Tanpa pengalaman hidup, hampir mustahil seseorang akan mendapatkan makna dalam hidupnya.
Sumber :
Ditulis WangMuba pada 07 Mar. 2009, Kategori ARTIKEL, Psikologi Umum
http://wangmuba.com/2009/03/07/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kebermaknaan-hidup
[ DOWNLOAD ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar